Sebagaimana telah kita maklumi bahwa Allah Swt. tidak akan menerima begitu
saja pengakuan akan keimanan dan keislaman seseorang sebelum diuji
konsistensi dan komitmennya. Salah satu bentuk ujian itu berasal dari
potensi diri sendiri berupa ananiyyah (keakuan). Kata ananiah berasal dari
bahasa Arabana (أنا) yang berarti saya atau aku.Ananiah dapat dikategorikan
sebagai sifat tercela apabila mendorong seseorang kepada membanggakan diri
sendiri (‘ujub) atau  mengganggap orang lain hina dan rendah (tahqiir).
Sehubungan dengan itu, Nabi saw. Bersabda:

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ 
بِنَفْسِهِ

“Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang
diikui dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri.” HR. Al-Baihaqi dan
At-Thabrani dengan sedikit perbedaan redaksi. Redaksi di atas versi
al-Baihaqi.[1]

Dalam hadis lain, Nabi saw. bersabda:

لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ 
مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ

“Sekiranya kalian tidak berdosa, niscaya aku takut kalian ditimpa dengan
perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub ! ujub!” HR. Al-Baihaqi. [2]
Sehubungan dengan sabda itu, Imam Al-Munaawi berkata :

كَرَّرَهُ زِيَادَةً فِي التَّنْفِيْرِ وَمُبَالَغَةً فِي التَّحْذِيْرِ، 
وَذَلِكَ لِأَنَّ الْعَاصِي يَعْتَرِفُ بِنَقْصِهِ فَيُرْجَى لَهُ التَّوْبَةُ 
وَالْمُعْجَبُ مَغْرُوْرٌ بِعَمَلِهِ فَتَوْبَتُهُ بَعِيْدَةٌ

“Rasulullah saw. mengulang-ulangnya (kata ujub) sebagai tambahan
(penekanan) untuk menjauhkan (umatnya) dan mempersangat untuk mengingatkan
(umatnya). Demikian itu karena pelaku maksiat yang mengakui kekurangannya
masih diharapkan ia akan bertaubat, adapun orang yang ujub maka ia
terpedaya dengan amalannya, hingga sulit baginya untuk bertaubat.” [3]
Ibnu Mas’ud Ra. berkata :

الْهَلاَكُ فِي اثْنَيْنِ الْقُنُوْطُ وَالْعُجْبُ

“Kebinasaan pada dua perkara: putus asa dan ujub”

Sehubungan dengan perkataan di atas, Imam Al-Munaawi berkata, “Ibnu Mas’ud
menyatukan dua perkara ini karena orang yang putus asa tidak akan mencari
kebahagiaan sebab dia sudah putus asa, begitu pula orang yang ujub tidak
akan mencari-cari kebahagiaan karena dia menyangka bahwa ia telah
meraihnya.” [4]

Di sini dapat disebutkan contoh tiga bentuk ananiyyah (keakuan) yang dapat
merusak kemuliaan orang beriman hingga menjadikan dirinya binasa:

Pertama, merasa dirinya sebagai ‘orang baik’

Dalam hal ini, Ummul Mukminin Aisyah Ra., telah mengingatkan kita, ketika
beliau ditanya:

 مَتَى يَكُوْنُ الرَّجُلُ مُسِيْأً

“Kapan seseorang dikatakan buruk?” Maka beliau berkata:

 إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ مُحْسِنٌ

“Jika ia menyangka bahwa ia adalah orang baik.” [5]

Nasehat di atas hendak mengingatkan kita bahwa “menilai diri sendiri
sebagai seorang baik” akan menjadi pintu awal malapetaka yang menimpa
seorang mukmin, karena akibat lanjutan dari itu  dia pun akan merendahkan
orang lain, merasa serba sempurna sehingga menghalangi dirinya untuk terus
memperbaiki segala keburukan, kesalahan, serta berbagai kekurangan dalam
menunaikan kebaikan.

Kedua, merasa dirinya ‘sudah berilmu’

Dalam hal ini, Fudhail bin ‘Iyadh telah mengingatkan kita, ketika beliau
ditanya oleh Ibrahim tentang tawadhu’. Beliau menjawab:

أن تخضع للحق وتنقاد له ولو سمعته من صبي قبلته منه ولو سمعته من أجهل الناس 
قبلته منه

“Engkau tunduk dan patuh pada kebenaran, meskipun engkau mendengarnya dari
seorang anak kecil; (ketika engkau mendapati ia menyampaikan kebenaran),
maka engkau menerima kebenaran tersebut darinya. Meskipun engkau
mendengarnya dari manusia yang paling bodoh; (ketika engkau mendapati ia
menyampaikan kebenaran), maka engkau menerima kebenaran tersebut
darinya.” [6]

Nasehat di atas hendak mengingatkan kita bahwa “menilai diri sendiri
sebagai orang yang telah berimu” akan menjadi penghambat meningkatnya ilmu;
menolak  nasehat, masukan, saran atau kritik dari saudara kita, meski yang
disampaikannya tersebut benar, karena kita menilai level keilmuannya
mungkin lebih rendah dari kita.

Ketiga, merasa dirinya ‘sudah beramal dengan sempurna’

Sehubungan dengan itu, nasehat Bisyr Al-Haafi layak kita cermati, ketika
amalnya dikagumi seseorang, ia berkata kepadanya :

لاَ يَغُرَنَّكَ مَا رَأَيْتَ مِنِّي فَإِنَّ إِبْلِيْسَ تَعَبَّدَ آلاَفَ 
سِنِيْنَ ثُمَّ صَارَ إِلَى مَا صَارَ إِلَيْهِ

“Janganlah engkau terpedaya dengan apa yang kau lihat dariku, sesungguhnya
Iblis beribadah kepada Allah ribuan tahun kemudian dia menjadi kafir kepada
Allah.”[7]

Pernyataannya di atas menunjukkan bahwa banyaknya amal yang ia lakukan
tidak lantas menjadikannya pongah. Kagumnya orang-orang pada amalnya
tidaklah menjadikannya berbangga. Bahkan ia tetap khawatir dengan dirinya,
karena dahulu iblis pun adalah makhluq yang lahiriahnya taat, tapi karena
kebusukan niatnya, hingga akhirnya Allah Swt. menampakkan hakikatnya ketika
dia diuji.

Demikian pula, seseorang akan sulit mengakui dan menghadirkan kekurangan
amal dirinya, apabila dia telah menyangka amalnya sudah sempurna, apalagi
menyangka amalnya sudah diterima, sehingga ia pun enggan memperbaiki
kualitas amalnya, bahkan menambahkan kuantitasnya.

Tulisan ini kita akhiri dengan nasehat salah seorang ulama, yang dikutip
Ibnul Qoyyim: “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar melakukan sebuah
dosa, dan dengan dosa tersebut menyebabkan ia masuk surga. Dan seorang
hamba benar-benar melakukan sebuah kebaikan yang menyebabkannya masuk
neraka. Ia melakukan dosa dan dia senantiasa meletakkan dosa yang ia
lakukan tersebut di hadapan kedua matanya, senantiasa merasa takut,
khawatir, senantiasa menangis dan menyesal, senantiasa malu kepada
Robb-Nya, menunudukan kepalanya dihadapan Robbnya dengan hati yang luluh.
Maka jadilah dosa tersebut sebab yang mendatangkan kebahagiaan dan
keberuntungannya. Hingga dosa tersebut lebih bermanfaat baginya daripada
banyak ketaatan…Dan seorang hamba benar-benar melakukan kebaikan yang
menjadikannya senantiasa merasa telah berbuat baik kepada Robbnya dan
menjadi takabbur dengan kebaikan tersebut, memandang tinggi dirinya dan
ujub terhadap dirinya serta membanggakannya dan berkata, ‘Aku telah beramal
ini, aku telah berbuat itu.’ Maka hal itu mewariskan sifat ujub dan kibr
(takabur) pada dirinya serta sifat bangga dan sombong yang merupakan sebab
kebinasaannya…”[8]

Semoga Allah Swt. senantiasa melindungi kita dari sifat ananiyahsehingga
tidak terpedaya dan ujub dengan amal shaleh yang telah kita lakukan dan
ilmu yang telah kita raih

[1] HR. Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, II: 203, No. 731;
At-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, V:328, No. 5452.

[2] Lihat, Syu’ab al-Iman, IX: 339, No. 6868

[3] Lihat, At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami’ as-Shaghiir, II:606.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Lihat, Hilyah al-Auliyaa’, VIII:91

[7] Lihat, At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami’ as-Shaghiir, II:606.

[8] Lihat, Al-Wabil As-Shayyib, hlm. 9-10.

Agan lagi membaca artikel tentang Kebaikan yang Tidak Baik
alamat artikel ini https://ione13.blogspot.com/2016/12/kebaikan-yang-tidak-baik.html
Agan boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel ini sangat bermanfaat bagi teman-teman agan
namun jangan lupa untuk meletakkan link Kebaikan yang Tidak Baik sumbernya.

Artikel Terkait : Intermezzo ,WhatsApp

No comments:

Post a Comment